Musim Panas di Plaza des Toros

Senin, 13 Agustus 2012 | komentar

Kupandangi sekali lagi penampilanku di cermin dengan puas. “Perfecto” aku berdesis pelan. Kemeja berenda, celana ketat sebatas lutut dan jas pendek yang penuh dengan bordiran dari benang emas, perak dan sutra melekat indah di tubuhku yang tegap berisi. Kaus kaki merah muda dan sepatu hitam bersol rendah sudah menghiasi kakiku, kukenakan topi hitam dari sutra dan terakhir, untuk melengkapi penampilanku jubah satin berhias bordiran indah menggelantung megah di pundakku. Sempurnalah penampilanku hari ini.

Beberapa saat lagi, Plaza des Toros dan puluhan ribu pengunjungnya akan menjadi saksi mata bahwa aku, De Pedro, adalah matador terhebat saat ini di negeri para matador, ya..di negeriku, Spanyol. Bagaimana tidak, dalam usiaku yang baru 19 tahun, aku sudah berhasil membunuh tak kurang dari 150 ekor banteng. Fantastis, bukan?

Ya, aku, De Pedro tak pernah gagal dalam setiap pertunjukanku dimana pun itu, di Barcelona, Seville, Cordoba, Madrid atau pun malam ini di Granada, di Plaza des Toros, arena adu banteng yang selalu penuh sesak dengan penonton yang ingin menonton aksiku. Aku bekerja keras untuk itu. Sejak usiaku 12 tahun El Padre sudah menyekolahkanku di sekolah khusus untuk calon-calon matador. Selama 7 tahun aku berlatih dan belajar keras mulai dari cara memegang tanduk buatan dari kayu, cara mengibaskan muleta dengan anggun sampai berbagai metode membunuh banteng.

Aku menikmati semua itu, bagiku itu adalah seni, bukan pembantaian. Apalagi bagi orang Spanyol, Corrida de Toros lebih dari sekedar olahraga atau pertunjukan sadis, pertunjukan adu banteng itu akan menunjukkan betapa perkasanya seorang manusia yang dengan risiko maut pun masih bisa bercanda. Aku sangat menikmati saat-saat di arena, saat ketika prosesi dimulai, saat aku mulai melakukan gerakan-gerakan veronica dengan indah, atau saat memutari arena dengan diiringi para banderillero karena kemenanganku sudah diakui, saat itulah penonton akan bersorak-sorai untukku, ah..gemuruh suara itu, betapa sangat kurindukan. Saat itu aku merasa sejajar dengan Raul Gonzales saat ia mencetak gol, lebih hebat malah.

Musim panas adalah milik kami, para matador, karena itulah musim panas menjadi musim yang sangat kutunggu-tunggu. Saat itulah aku akan menjadi bintang yang akan memikat gadis-gadis dengan kemilauku, terutama untuk memikat Daniella, gadis tetanggaku yang bagiku jauh lebih cantik daripada Salma Hayek yang bintang film terkenal itu. Daniella yang jauh lebih sulit kutaklukkan daripada banteng-benteng terluka yang menjadi lawanku di lapangan karena tak pernah menyambut ajakan kencanku, padahal ada ribuan gadis yang menanti ajakanku itu.
Daniella adalah ‘banteng terliar’ yang pernah kutemui, semua cara sudah kutempuh, termasuk menghadiahinya seuntai kalung perak dan sebuah daun telinga banteng!. Jangan salah, daun telinga itu kudapatkan dengan susah payah, itu adalah tanda kemenangan yang akan dipersembahkan pada matador hanya jika penampilannya bagus.

Musim panas kemarin sepasang daun telinga banteng menjadi hakku karena penampilanku dinilai sangat memuaskan, yang 1 kuberikan pada Daniella, yang 1 kusimpan untuk diriku sendiri, sejauh ini usahaku hanya berhasil membuatnya datang menonton pertunjukanku tapi tidak untuk ajakan pergi berdua.

Musim panas ini aku bertekad untuk mencapai recibiendo. Penonton sangat menantikan momen ini karena jarang ada matador yang bisa melakukannya mengingat resikonya yang sangat besar. Aku bertekad akan menghabisi banteng lawanku hanya dengan 1 tusukan tepat pada jantungnya setelah aku puas mempermainkannya.

Aku tersenyum sendiri membayangkan aku berhasil melakukan recibiendo itu, sesaat kemudian aku akan menepi untuk memberi ruang bagi jatuhnya banteng, saat itulah ia akan tertelungkup pasrah, menyerah kalah di hadapanku, dan gemuruh suara yang kurindukan itu akan menjelma bagai mimpi yang jadi kenyataan, dan makin yakinlah orang-orang bahwa De Pedrolah matador terhebat saat ini.

Jika itu terjadi, selain sepasang telinga banteng aku juga akan mendapat ekor banteng dan yang lebih penting lagi, namaku akan menjadi headline di koran-koran lokal dan para reporter TV akan antre untuk jadwal wawancara denganku, ha... saat itu Daniella pasti tak akan menolak ajakan kencanku lagi.
Ah... Daniella, mengingatnya selalu membuat hatiku resah. Akhir-akhir ini ia banyak berubah, apalagi sejak kedatangan kakak perempuannya, Gabriella yang bersekolah di Amerika Serikat. Semula kubayangkan Gabriella akan berpenampilan seperti Britney Spears atau Jennifer Lopez, tapi yang terjadi malah berbalik 180 derajat.
Alih-alih berpenampilan seksi bak gadis-gadis modern jaman sekarang, Gabriella malah berpenampilan kuno seperti wanita-wanita Arab yang selalu membungkus rambutnya dengan kain segitiga. Orang-orang bilang Gabriella sekarang menjadi muslim, aku tak tahu banyak tentang itu, yang sering kudengar sekarang Gabriella memeluk agama para teroris, bagaimana kalau Daniella juga ikut-ikutan menjadi muslim? Mereka berdua sangat dekat seperti saudara kembar, bukan tak mungkin Gabriella akan mempengaruhi Daniella untuk mengikuti agama barunya, tanda-tanda ke arah itu memang mulai tampak.

Aku masih ingat, seminggu yang lalu ketika akau datang ke rumahnya untuk menawarkan tiket VIP untuk menonton pertunjukanku di Plaza des Toros, Daniella menolak keras. “Tidak…aku sudah berjanji untuk tidak menonton Corrida de Toros lagi, sadarlah Pedro, yang kaulakukan selama ini sangat kejam. Banteng itu juga makhluk Tuhan, ia punya perasaan dan punya hak untuk hidup.”

“Ayolah... rasional Daniella, banteng itu cuma sekedar hewan, ia memang diciptakan untuk kita bersenang-senang, selain itu ia tak berguna,” aku menjawab enteng.

“Diciptakan untuk apa katamu? Tuhan itu Maha Adil, tak mungkin Tuhan menciptakan sesuatu yang tak berguna, apalagi untuk kita permainkan hidupnya di ujung Banderilla para matador, itu kejam, sadis.”
“Ini seni, Daniella, Corrida de Toros itu bagian dari seni, tak percaya? Coba renungkan ada apa saja di dalamnya, keindahan? Ya, sadis? Ya juga, tapi toh semua orang menyukainya, Spanyol tak akan terkenal tanpa Corrida de Toros, Spanyol bukan apa-apa tanpa matador!” aku ngotot.

“Sombong kamu, sebenarnya apa yang kamu cari di arena itu?. Ingin dianggap berani dan hebat sebagai manusia, begitu? Menurutku, Corrida bukan pertarungan antara manusia dengan banteng tapi lebih pada pertarungan antara manusia dengan dirinya sendiri.”
“Maksudmu?” aku tak mengerti.
“Suatu saat kamu akan tahu sendiri jawabannya,” dingin Daniella menjawab.
Aku lemas, hilang sudah harapanku untuk melakukan recibiendo di depan gadis pujaanku, jangankan menonton Corrida, menerima telepon dariku pun ia tak mau, Daniella sekarang jarang keluar rumah, kalaupun keluar tak pernah sendirian dan tak pernah pada malam hari, saat itu pun hampir pasti ia memakai jaket dan topi menutupi rambut coklatnya yang ikal dan indah.

“Seperti orang gila” pikirku melihat Daniella yang berpakaian ala musim dingin saat musim panas begini, bagaimana mungkin ia tidak kepanasan dalam udara musim panas Spanyol yang berkisar pada suhu 30-35 derajat Celcius dengan pakaian seperti itu? Mungkin benar dugaanku, Daniella sudah terpengaruh Gabriella, tiap menjelang malam selalu terdengar suara-suara aneh dari rumah mereka, seperti alunan suara dari masa lalu yang belum pernah kudengar sebelumnya.

Bagaimanapun, aku tak boleh menyerah, dengan atau tanpa Daniella di kursi penonton, aku akan tetap coba melakukan recibiendo, siapa tahu jika aku berhasil menyerahkan ekor benteng sebagai tanda cintaku padanya sikapnya akan melunak, ya... siapa tahu?
Suara tawa asisten-asistenku, para banderillero dan picador membuyarkan lamunanku tentang Daniella. Sebentar lagi acara prosesi akan dimulai, kami akan bersiap-siap untuk berparade, kulihat walikota juga sudah datang. Tahap pertama sukses, prosesi sudah selesai dan selanjutnya, walikota akan melemparkan kunci pintu kandang banteng.

Aku bersiap-siap. Pintu kandang sudah dibuka dan lawanku, sang banteng mulai memasuki arena. Sorak sorai penonton makin riuh, percaya diriku makin meningkat. Manuel, salah satu banderilleroku mengibaskan muleta dengan 1 tangan untuk memancing reaksi banteng. Ia melakukannya agar aku bias mengetahui kecenderungan banteng itu menyerang dengan 1 atau 2 tanduk. Kulihat, lawanku kali ini cenderung menyerang dengan 1 tanduk.
Aku masuk ke arena. Pertunjukan kumulai dengan melakukan gerakan-gerakan veronica, gerakan dasar yang lebih mirip tarian daripada jurus untuk menghadapi banteng tanpa berpindah posisi. Kukibaskan muletaku perlahan dengan kedua tangan. Banteng itu mulai terpancing dan mendekat, kukibaskan sekali lagi, “Ayo... mendekatlah kawan,” kataku dalam hati. Banteng itu makin marah dan ia makin dekat, saking dekatnya, aku hanya perlu mengibaskan muleta memutari pinggangku sendiri. Penonton bertepuk tangan riuh. Saat aku beraksi, para picador mulai masuk ke arena, derap kaki kuda yang mereka tunggangi bercampur baur dengan sorak-sorai penonton, dari atas kuda mereka menusuk banteng dengan banderilla. Babak awal dimulai.

Corrida de Toros memang terdiri dari 3 babak: pertarungan, penancapan banderilla dan terakhir menghabisi banteng. Babak pertama aku hanya perlu membuat banteng lawanku capek dan itu perlu waktu lama, luka akibat tancapan banderilla itu akan mencucurkan darah terus-menerus dan itu cukup membuatnya lemah. Kali ini, aku akan melakukan recibiendo, babak terakhir akan kutuntaskan dengan 1 tusukan fatal, tepat di jantungnya.

Aku mengumpulkan keberanianku, perhitunganku harus tepat. Saat aku berhadapan muka dengan banteng itu dan ia menerjang ke arahku, saat itulah aku akan menusuknya. Semuanya akan kulakukan pada waktu yang tepat, tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat agar penontonku puas.

Banderilla yang tertancap di tubuh lawanku makin banyak, tapi banteng ini benar-benar ulet, ia sama sekali belum kelihatan melemah, bahkan sebaliknya makin mengganas. Aku harus berkali-kali menghindar dan benar-benar memperhitungkan harus sedekat apa aku dengan binatang itu. “Bravo..!” teriakan penonton makin ramai, kupompa keberanian untuk memuaskan mereka.

Tiba-tiba aku teringat kata-kata Daniella, “Corrida bukan pertarungan antara manusia dengan banteng, tapi pertarungan manusia dengan dirinya sendiri.” Saat itu aku mulai paham apa maksud Daniella sebenarnya. Aku sedang bertarung dengan diriku saat ini. Aku ingin agar banteng itu sedekat mungkin denganku, tapi di lain pihak aku harus terus-menerus memompa keberanianku, aku harus memilih keselamatanku atau kepuasan penonton dalam tiap detik penampilanku.

Aku masih ingat, musim pertunjukan lalu, paha kiriku terluka cukup parah karena tandukan banteng dan entah berapa kali aku ditanduk banteng. Sebelumnya, aku masih beruntung karena Lucio, temanku sesama matador tewas di arena 2 tahun lalu. Bahkan, Joselito yang kata El Padre adalah matador terhebat sepanjang masa juga tewas di ujung tanduk banteng.

Untuk pertama kalinya dalam karirku sebagai matador, aku takut mati. Bagaimana kalau nasibku seperti Lucio dan Joselito, bagaimana kalau aku mati di arena?. Betapa mengerikan, De Pedro, matador terhebat saat ini, tewas di ujung tanduk banteng. Hiiih..aku bergidik membayangkannya. Tapi kalau banteng ini kubunuh, Daniella akan makin benci padaku dan ah…betapa kasihannya banteng itu, lahir, tumbuh dan hidup untuk kemudian mati di tanganku, betapa kejamnya aku. Tapi, aku takut mati, bagaimana ini?

Aku mulai resah, pertarungan dalam batinku jauh lebih hebat daripada pertarunganku dengan banteng ini. Jika aku berhasil melakukan recibiendo, seluruh dunia akan tersenyum padaku, kecuali Daniella dan banteng itu…hidupnya hanya akan berakhir sebagai pemuas nafsuku dan para penonton itu, malang sekali ia dan betapa kejamnya aku.

“De Pedro, ada apa denganmu? Kau bisa mati!” Gomez, picadorku membuyarkan pertempuran dalam hatiku. Banteng itu masih beringas, matanya menatap tajam ke arahku, dengusan nafasnya yang kasar terdengar keras, bahkan hembusan nafasnya di udara dapat kurasakan. Tetes-tetes darah mulai mengalir dari tubuhnya yang ditancapi banderilla warna-warni.

“Recibiendo, Pedro!, recibiendo!” Kali ini Jose yang berteriak padaku. Aku tergagap dan langsung tersadar, kupancing-pancing banteng itu dengan muletaku agar ia tepat berhadapan denganku. Kesempatan itu datang, banteng itu menerjang ke arahku, kusiapkan pedangku, sedikit saja meleset, aku bisa gagal. Ya, inilah saatnya, “crep!” beberapa saat sebelum ujung tanduknya menyentuh tubuhku, pedangku sudah menusuk tubuhnya.

Aku menunggu. Kuharap tusukan itu fatal dan dengan begitu recibiendo akan segera kuraih. Aku menepi untuk melihat reaksi tusukanku itu. Benar, banteng itu mulai limbung. “Sebentar lagi ia akan kalah” pikirku, tapi tidak, meski ia limbung, tusukanku tak berhasil melumpuhkannya, ia tak kunjung terjatuh. Tusukanku meleset, aku gagal mengenai jantungnya.
Para picador datang dengan tergopoh-gopoh, mereka akan segera menyembelih benteng itu. Aku mundur, di sela-sela tubuh para picador yang berjongkok itu masih dapat kulihat sepasang mata binatang malang itu. Mata itu, entah kenapa tampak begitu sendu dan sedih, dan ketika kudengar lenguhannya yang keras saat para picador menyembelih lehernya, aku seperti mendengar suara Daniella yang marah, “Kau kejam, kau kejam…” lututku lemas, meski penonton bersorak-sorai untukku, meski aku berhak untuk 2 daun telinga untuk penampilanku sore ini, aku tetap merasa kalah.

Bukan... bukan karena aku gagal melakukan recibiendo, tapi karena aku kalah dengan diriku sendiri. Kau benar, Daniella, aku kejam, sangat kejam dan aku benci kenapa aku punya sifat itu. Matahari Spanyol mulai turun, Plaza des Toros mulai diselimuti kegelapan malam, namun bagiku, gelapnya Plaza des Toros dan pekatnya langit Spanyol tak segelap hatiku saat ini.

Keterangan :
Perfecto : Sempurna
El Padre : Ayah
Muleta : Kain berwarna nila/merah
Corrida de Toros : Pertunjukan adu banteng
Veronica : Gerakan dasar untuk menghadapi banteng
Recibiendo : Saat matador menghabisi banteng lawannya hanya dengan 1 tusukan tepat pada jantungnya
Banderillero : Asisten matador
Picador : Asisten matador
Banderilla : Senjata sejenis tombak

Penulis:Farin

Purnama di Gerbang Andalusia

| komentar

Prajurit Roberto dan Serinho datang menghadap!
Ruang utama Istana Andalusia di Toledo tampak lengang. Singgasana Raja Roderick terlihat masih kosong. Dua orang tentara Goth yang baru tiba itu mengambil tempat persis di depannya. Menunggu sang raja tiba. Mereka berdua adalah pasukan khusus dari tentara kerajaan. Tugasnya mengamati keadaan terakhir dari gerakan musuh di garis depan. Lalu menginformasikan setiap perkembangan baru yang terjadi. Dan sore itu, mereka baru saja tiba dari pantai di semenanjung Andalusia. Sebuah berita penting sedang mereka bawa. Tentang kedatangan orang-orang dari Afrika utara. Juga perang besar yang nampaknya bakal segera terjadi. Termasuk siasat perang yang gila dari sebuah angkatan perang.
Prajurit Roberto mengamati tiang-tiang penyangga yang mengitari ruang utama istana. Dinding-dinding yang terlihat kokoh berhias ukiran sangat menakjubkan. Sebuah karya seni dari para arsitek Gothic yang tak bisa ia saksikan di luar ruangan ini. Dan itu mengingatkannya lagi pada bukit karang saat dimana ia pertama kali melihat lelaki menakjubkan itu. Berdiri sambil menyampaikan kata-kata pembakar semangat pasukannya. Kemarin siang di pantai berbatu terjal. Bersamaan dengan ribuan orang yang turun dari kapal-kapal yang bersandar di sepanjang pantai Andalusia.

Lihat lelaki yang berdiri di atas bukit itu! tunjuknya pada Serinho.
Ya... ya! Aku tahu!
Diakah orang Barbar itu? Bekas budak yang dimerdekakan itu?
Yang itu ¦ aku tak tahu!
Ya, bekas majikannya adalah rajanya sekarang ini.
Mousa ibn Nusher?

Roberto mengangguk pelan. Sesuatu membuatnya tercenung. Ikatan emosional apa yang membuat seorang majikan bisa mengangkat seorang bekas budaknya menjadi panglima perang? Bahkan tali keturunan pun belum tentu bisa menjelaskan. Dan ia yakin itu disebabkan oleh sebuah hubungan yang lebih dari sekedar majikan dan budak. Pasti ada penjelasannya! Roberto memandangi dirinya sendiri. Seorang lelaki yang hampir seperempat abad hidup dan mengabdi dibawah kaki dinasti Gothic. Sebagai prajurit rendahan, ia dan kelompoknya termasuk dalam kasta terendah dalam masyarakat Andalusia. Mengabdi dan mati adalah tugas pertama. Keadilan dan kesejahteraan cuma nomor sekian. Tapi ia masih beruntung bisa makan tiga kali dalam sehari.

Serinho menepuk bahunya.
Apa yang ia lakukan ? tunjuknya pada sang panglima.
Dia sedang berbicara dengan pasukannya
Ya, mereka tampak begitu patuh dan khusuk!
Hei, lihat¦ apa yang akan mereka lakukan ?
Entah.

Tiba-tiba, teriakan-teriakan aneh menggemadi atas langit semenanjung Andalusia. Pedang dan panah yang berkilauan teracung ke udara. Kerumunan pasukan yang tampak serba putih itu menengadah ke langit yang bersih. Begitu menggetarkan. Dan Roberto tahu, itu adalah cara mereka mengagungkan nama Tuhannya. Seketika pula, asap hitam sudah mengepul dari arah pesisir.

Kedua prajurit Andalusia itu hanya bisa tercengang. Ya, kapal-kapal besar itu! Panah-panah api berterbangan ke arah kapal perang itu. Langit mendadak gelap. Api menjalari tiang dan layar-layar dengan cepatnya. Buritan terus berderak. Bersama angin pantai Mediterania yang bertiup kencang, perlahan-lahan, lidah laut mulai menelan puing kapal yang terus membara. Secepat itu pula, kapal-kapal itu kini musnah. Kapal yang telah membawa pasukan dari negeri mereka Tanja, di Afrika Utara menuju daratan Andalusia itu, telah tenggelam ke dasar selat Andalusia. Bukan oleh musuh! Tapi dibumihanguskan mereka sendiri atas perintah sang panglima.

Kini,tujuh ribu pasukan membelakangi selat Afrika-Andalusia. Dan jauh di depan mereka, duapuluh lima ribu pasukan musuh siap menghadang! Ah, betapa hidup memang hanya sebuah pilihan. Betapa tipis batas antara mati sia-sia dan syahid di jalan-Nya!
Benarkah ini bukan dongeng semata?
***
Dalam derap langkah kuda yang membelah tanah Toledo yang berdebu, angin tenggara ikut mengabarkan berita yang tak disangka-sangka itu. Tindakan pasukan muslim itu tadi benar-benar tak terbayangkan. Betapa besar keberanian yang mereka punya. Kekuatan apa yang ada dalam genggaman mereka? Semangat macam apa yang bisa menandingi itu semua. Hingga mereka memilih mati jauh dari negeri asalnya. Dengan membuang sebuah pilihan untuk selamat dengan berlayar kembali ke tanah asal. Bahkan, sejuta tahta Andalusia takkan bisa menyurutkan langkah mereka menapak menuju kegemilangan.
Roberto dan Serinho masih saling berbisik.

Ini akan mudah kan?
Apa maksudmu ?
Cuma tujuh ribu pasukan. Kita jelas punya empat sampai lima kali lipat!
Entahlah, Roberto¦ tapi bila ini terjadi¦ jelas sekali, ini bukan perang. Ini akan menjadi ladang pembantaian!

Begitu menurutmu?
Kau melihat ada kemungkinan lain?
Aku hanya khawatir! desis Roberto gelisah.

Shh,¦ kawan di sampingnya memasang posisi tegak. Roberto serentak mengikutinya. Dari pintu megah bergaya Gothic kuno, seorang lelaki berjubah emas muncul. Wajahnya keras dan dingin. Hanya suara langkah yang menggema di ruang utama istana Andalusia siang itu. Seluruh pengawal menundukkan kepala. Kedua orang prajurit khusus pun bersimpuh.

Yang mulia Roderick! salam mereka serempak. Sang raja mengangguk. Seraya melambaikan sebelah tangan. Senyumnya yang hambar menghampar. Tak sabar ia bertanya pada sang mata-mata.

Kabar baik apa yang kau bawa?
Mereka telah tiba, Tuanku.
Ah! Sudah kuduga. Setelah Torife jatuh, mereka pikir kita akan melemah! Berapa kekuatan musuh kali ini?

Tujuh ribu, Tuanku! Roberto menjawab pendek. Dan jawaban dari prajuritnya itu bagai alunan nada yang menyenangkan bagi raja yang cemas itu. Wajahnya mendongak cepat.

Tujuh ribu katamu? Cuma tujuh ribu?
Tepat sekali. Tujuh ribu pasukan dengan armada kapal yang telah terbakar, kali ini Serinho yang menambahkan. Jelas sekali, ia terlihat bangga mengabarkan berita itu.

Terbakar? suasana menjadi hening sejenak. Sebuah berita gembira yang sekaligus membingungkan. Dan itu makin membuat sang raja tak mengerti. Dia berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba sang raja tergelak. Suara tawanya membahana di penjuru ruang yang mewah itu. Bahkan, mahkota yang dikenakannya nyaris jatuh, saat ia menghempaskan tubuh besarnya ke atas singgasana.
Hei, bagus sekali! pasukan siapa yang sudah bekerja sangat baik itu 

Maaf, Tuanku¦ tapi bukan pasukan Visigoth yang melakukannya!
Bukan¦ pasukan¦ kita ¦? ulangnya tak paham. Kedua prajurit mengangguk cepat. Lalu Roberto menambahkan dengan nada sangat tegas.

Mereka melakukannya sendiri tuanku.
Tawa Roderick terhenti. Tubuh besarnya bangkit lalu turun menuju prajuritnya.
Jangan main-main. Apa maksudmu ?
Mereka sendiri yang membakar armada laut itu!
***
Di luar istana, orang-orang mulai ramai berkasak-kusuk. Kabar tentang pendaratan pasukan dari kerajaan tetangga makin menyebar. Perang takkan terelakkan. Dan musuh mereka adalah orang-orang dari utara Afrika. Sebuah negeri yang mereka dengar selalu dalam suasana damai dan sejahtera. Di bawah pimpinan seorang raja yang tak pernah mengabaikan hak-hak rakyatnya. Dimana kebutuhan hidup, keadilan serta keamanan dijaga dengan baik oleh negara. Dan kebebasan melaksanakan hak bagi rakyat pun dijamin sepenuhnya. Sangat berbeda dengan keadaan mereka disini. Di Andalusia ini, raja mereka hanya bisa memeras rakyatnya. Dinasti Gothic dari Jerman yang telah memerintah tanah mereka hampir dua abad itu, sama sekali tak memberikan apa-apa bagi rakyatnya. Zaman kegelapan sedang memayungi masyarakat mereka. Gelap gulita di mana-mana. Bahkan, masyarakat kini telah terbagi dalam tingkatan-tingkatan sosial. Yang membedakan hak serta kewajiban mereka masing-masing. Mereka yang tersisih itu hanya bisa mengeluh sambil berkasak-kusuk. Berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil di sudut-sudut kota. Seperti siang itu pula. Di sebuah pasar kumuh di jantung Toledo, ketika para lelaki saling berbisik takut-takut.
Benarkah perang akan terjadi?

Lebih baik perang dari pada mati perlahan seperti sekarang
Akankah ada pengerahan rakyat?
Ya, ya¦ sepertinya begitu! sahut yang lain.
Wah! Ini tidak baik. Kita harus segera menghadap Bapa!
Apa yang kau harap? Gereja pasti tak berbeda dengan istana raja!
Lalu bagaimana?
Entahlah!

Di sudut lain. Beberapa pemuda justru tertarik membicarakan tindakan gila yang telah dilakukan oleh sang panglima musuh. Sebuah kisah heroik yang belum pernah ada di medan pertempuran manapun. Benarkah episode itu sedemikian dahsyat? Bahkan, kabarnya gunung karang ikut terperangah. Laut di Semenanjung Iberia terkesima. Dan langit si sepanjang Mediterania hanya bisa menatap syahdu, saat tujuh ribu pasukan yang mendengungkan kalimat Allah itu melabuh serentak diiring ombak. Bergelombang, menjejak pasir putih dari tanah yang dijanjikan.

Sesungguhnya, dalam hati kecil mereka, kedatangan pasukan musuh itu sangat dinanti-nanti. Hari itu juga, seluruh penghuni bumi Andalusia terbangun. Akhirnya pertolongan dari Tuhan datang juga! Setelah berpuluh tahun bangsa Visigoth menguras deras segenap luka dan air mata mereka. Usai kerontang jiwa merajam lara raga di bawah kaki Raja Roderick. Kini secercah harapan sedang bersinar dari arah semenanjung. Sekaranglah saatnya memupuk harapan atas sebuah pembebasan. Kejatuhan negeri mereka, Andalusia--bukan, tepatnya dinasti Gothic--sedang menghitung mundur.
Gereja sudah tahu?
Apa bedanya?
Sekarang, mereka pasti sedang mengumpulkan emas dan harta mereka!
Apa yang harus kita lakukan?
Kita lihat saja nanti. Tuhan sedang bicara pada penggembalanya sekarang.

Ya, mereka tahu Tuhan sendiri yang telah menuntun para penolong itu hingga ke negeri ini. Jubah dan surban putih yang berkibar, panji-panji kemenangan yang menghunjam langit. Baju besi serta tameng yang berdentingan. Juga berbagai senjata yang berkilat-kilat siap terhunus. Itu semua bagai lonceng kemenangan bagi orang-orang kecil seperti mereka. Bahkan matahari takjub terpesona. Menyaksikan gelombang takbir yang perlahan-lahan menepi. Dan musuh di darat? Siapa sangka bantuan tiba dari arah samudera?
***
Beberapa hari usai pendaratan yang heroik di pantai semenanjung Andalusia. Kumpulan orang-orang di tengah kota menampakkan wajah ceria. Mereka saling mengabarkan sebuah berita gembira.

Raja sudah mati!
Apa katamu?
Raja,¦ Raja Roderick mati!
Dimana?
Di medan pertempuran Bakkah
Lalu?
Cordoba, Malaga,dan Granada juga jatuh! Toledo pasti menyusul!
Jadi?
Kita menyerah!
Kita menyerah?
Kita menyerah!
Puji Tuhan! Oh, betapa senangnya, akhirnya mereka menyelamatkan kita!
***

Dari atas kudanya, wajah sang panglima tersungkur ke bumi. Lafaz takbir dan tahmid terus berdesis dari lisannya. Hari ini, mimpinya telah terbukti nyata. Sebuah mimpi yang makin membuatnya teguh dengan jihadnya di tanah Andalus ini. Ya¦ malam itu lewat mimpinya, Rasul yang agung bersama empat sahabat telah menemuinya. Di atas permukaan samudera yang berkilat-kilat, manusia-manusia agung itu menghampirinya. Beliau tersenyum seraya membisikkan berita gembira yang bakal ia raih. Tentang gerbang Andalusia yang akan terbuka lewat tangannya. Tentang sebuah peradaban benderang yang hendak menerangi seluruh Eropa dari kegelapan. Juga kegemilangan Islam yang hendak diukir dari tanah Andalusia ini. Beliau hanya berpesan, agar selalu menepati janji dan teguh bersama orang-orang yang beriman. Sebab atas kuasa Tuhannya pula, telah dimudahkan ia untuk menyeberangi selat, membakar semangat juang pasukan, sekaligus menaklukkan kota demi kota di salah satu wilayah kekaisaran Romawi saat itu. Dan di atas hamparan kertas, dibacanya sekali lagi sebuah pesan yang usai ia tulis bagi pemimpinnya di negeri seberang :

Hari ini, saya sampaikan bahwa saya telah menjalankan perintah Anda. Dan Allah telah memudahkan kami untuk memasuki Andalusia.
Tertanda,
Thariq Bin Ziyad™
***
Surabaya, Agustus 2004

Penulis:Haikal Hira Habibillah

Saat Durianku Berbuah

Jumat, 10 Agustus 2012 | komentar

Hujan turun dengan derasnya saat aku memandangi pohon durianku yang mulai berbunga. Kumbang-kumbang yang tadinya asyik menghisap sari bunga durian tersebut terpaksa pergi terbang dan hinggap di pokok-pokok daun lontar di samping rumah Pak Bahar, tetanggaku, melihat kehadiranku.

“Kali ini mungkin buah durian kita lebat!” ungkap Ayah padaku kala itu. Aku hanya mengangguk sambil kembali memperhatikan titik-titik hujan yang jatuh di sela-sela daun si raja buah itu. Durian itu, tepat sekali tumbuhnya di antara pekaranganku dengan pekarangan rumah Pak Bahar. Jadi, ya, seperti milik berdua saja, begitulah kira-kira.

Seperti tahun-tahun sebelumnya apabila musim berbuah kami selalu menjualnya.Ya, lumayanlah buat tambah uang jajan sekolah dan buat bayar uang sekolahku.

“Tahun ini mungkin harga durian naik daripada biasanya, Ben, sebab kata teman-teman Ayah di warung, di desa tetangga, desa Sawah, durian sedang tidak berbuah. Jadi mungkin para petani durian di desa ini akan menaikkan harga,” papar Ayah padaku kembali sambil meneguk kopi yang disediakan Uni Del.

“Tapi kan belum tentu, Yah. Desa-desa lain juga banyak yang menghasilkan durian, seperti desa Simawik. Seandainya kita menaikkan harga sudah barang tentu para langganan yang datang dari kota itu membeli ke desa Simawik,” bantahku dingin, seperti dinginnya cuaca saat itu.

Ayah kembali menghirup kopinya.
“Ya, tapi kan sebagai desa penghasil durian nomor satu, mereka akan lebih cenderung membeli ke sini daripada ke Simawik. Kan jalannya ke sana tidak bisa dilewati oleh truk-truk besar seeprti yang datang ke sini. Pasti akan menambah ongkos saja. Jika mereka bersikeras mempertahankan untuk menawar harga di sini dan beralih ke Simawik. Upah ongkos ke sini juga mahal. Jadi sama saja,” Ayah meyakinkan pendapatnya sendiri.

Angin sedang semilirnya ketika aku melihat sebuah mobil Isuzu Panther berhenti di haaman rumah Pak Bahar. Dua orang pria berdasi, yang satu tinggi dan kepala plontos dan yang lain agak kelebihan lemak di tubuhnya turun dari mobil biru metalik itu sambil menenteng map hijau. Pak Bahar keluar dari rumahnya dan menemui mereka diserambi. Percakapan sayup-sayup kudengar menyambut kehadiran kedua lelaki itu karena memang rumahku sangat dekat dengan rumah Pak Bahar, hanya beberapa puluh inci. Barangkali, jika ada orang yang mau mengukurnya.

Aku menjadi terusik saja untuk mendengar percakapan itu. Maka aku pura-pura membaca koran untuk mendengarkan percakapan mereka yang begitu serius kelihatannya. Yang paling mengusikku untuk nguping adalah saat mereka bicara tangan Pak Bahar menunjuk-nunjuk ke batang durianku. Ada sesuatu yang ganjil?

“Berapa bulan lagi, Pak, kira-kira buah durian Bapak matangnya?” ucap yang tinggi botak terdengar di telingaku. Aku semakin heran.
Durian Pak Bahar? Tanyaku dalam hati.

“Kira-kira empat bulanlah. Kan putiknya sudah mulai besar. Jadi sekitar bulan Oktober besok,” sayup-sayup kudengar suara Pak Bahar yang bass itu. Aku semakin tertarik menyelidiki mereka.
“Kalau begitu sebagai uang muka terimalah uang ini. Nanti kalau durian itu sudah tiba masa panennya kami akan datang lagi. Tapi Bapak jangan menekan kontrak lagi dengan pemborong lain, Ok?” ujar si gemuk sambil menyodorkan sebuah amplop pada Pak Bahar. Dibukanya amplop tersebut lalu menghitung dengan jari-jarinya yang pendek dan gemuk. Ia tampak manggut-manggut. Setuju.
***
Empat bulan sudah berlalu, berarti sudah empat bulan pula si gemuk dan si tinggi botak itu datang. Putik-putik durian kini menjelma sudah menjadi buah durian yang besar dan hampir matang. Aku kembali duduk di serambi depan sambil baca-baca koran, juga sambil melihat kalau-kalau tamu Pak Bahar itu datang lagi bermobil Panther. Tentunya wajah Pak Bahar akan berseri-seri jika hal itu terjadi.
“Ben, belakangan ini Ayah lihat kamu sudah mulai rajin baca koran. Tidak seperti biasanya, pulang sekolah tidur dan sorenya main bola. Ada angin apa gerangan yang bertiup?” ujar Ayah mengangetkanku dari belakang.

“Ah, nggak hanya ingin cari situasi baru saja. Suntuk,” kilahku. Sengaja kusembunyikan masalah Pak Bahar yang menekan kontrak menjual semua buah durian. Aku cemas nanti terjadi yang tidak-tidak kalau sampai ayah tahu.

“Ngomong-ngomong durian kita sudah besar, ya, Ben. Sebentar lagi pasti matang. Hanya menunggu hari,” ucap Ayah bersemangat. Telingaku memerah. Seandainya saja Ayah tahu tentang ulah Pak Bahar yang sudah bertitel haji itu telah menekan kontrak penjualan durian mungkin ia tak berharapan sebesar ini. Tetapi bagaimana lagi, terpaksa aku menuruti tugasku, suma mengangguk, mengiyakan untuk membesarkan hati Ayah.

Aku kembali membalikkan halaman demi halaman koran ibukota yang ada di tanganku saat Ayah beranjak ke belakang. Ketika itulah kulihat kembali Pak Bahar mondar-mandir di depan rumahnya dengan sebatang rokok melekat di mulutnya yang hitam. Ia menoleh padaku dan aku pun menoleh padanya, beradu pandang.

“Nak Ben, kok di rumah saja? Nggak pergi ke lapangan bola? Si Maman sudah dari tadi pergi, siap salat asyar,” ia membuka pembicaraan denganku, mungkin hanya basa-basi.

“Lagi nggak mood, Pak. Lagian ujian semester kan hampir tiba. Jadi waktu bermain didiskon dululah,” jawabku sekenanya. Sebenarnya bukan itu yang terjadi pada diriku. Sebenarnya aku sedang menunggu kalau-kalau kolega lelaki itu datang. Itu sebenarnya. Namun kusembunyikan saja dalam-dalam semua itu. “Ada apa, ya, Pak, kok dari tadi Bapak mondar-mandir saja. Sepertinya menunggu sesuatu?” lagakku pura-pura tidak tahu.

“Memang, Bapak sedang menunggu seorang teman Bapak dari kota. Tadi dia menelpon, katanya sore ini dia datang ke sini.”

Oh, jadi memang benar dugaanku selama ini bahwa Pak Bahar tanpa berembuk dulu dengan ayahku telah memainkan perannya sendiri, menjual durian dengan sistem penjualan batangan.
Tak lama berselang kudengar deru mobil berhenti di depan rumah Pak Bahar. Ia tergesa-gesa melongok kemudian membuka pintu pagar rumahnya yang bercat putih.

“Selamat sore, Pak,” tegur si tinggi botak itu pada Pak Bahar dengan gaya yang lebih necis daripada empat bulan silam.

“Masuk, Pak, nggak enak di luar. Apalagi hari sudah mulai gelap. Mungkin hujan akan kembali turun sore ini,” Pak Bahar berbasa-basi sambil melangkah masuk ke dalam rumah bertingkat dua itu. Si botak itu ternyata datang tanpa diiringi oleh si gemuk. Setelah itu tak terdengar lagi percakapan mereka di telingaku. Aku menghela nafas panjang. Titel saja yang haji, tetapi perbuatannya jauh lebih bobrok dibandingkan preman jalanan! Serakah!” makiku dalam hati.

Petir menggelegar di angkasa bersahuta-sahutan. Angin berhembus kencang. Sudah bisa diduga seperti hari-hari sebelumnya, hujan turun setiap hari membasahi bumi ini.
Buummm! Aku tersentak oleh suara dentuman benda yang jatuh. Buru-buru aku menoleh ke arah datangnya suara itu. Sebuah benda bulat berguling-guling di tengah rintiknya hujan. Durian! Pasti itu durian! Teriakku dalam hati. Tanpa pikir panjang aku berlari ke belakang rumah, tergopoh-gopoh. Ternyata benar, sebuah durian yang cukup besar bercokol di bawah batang keladi setelah hampir lima menit kucari-cari di mana ia jatuh.
***
Mungkin itulah kali terakhirnya aku memungut buah durian two in one itu. Selang beberapa hari setelah itu sebuah truk besar sudah terpakir pula di depan rumah Pak Bahar yang haji itu.

Ayah tengah asyik membelah kayu ketika rombongan Pak Bahar tiba di pekarangan belakang-menuju batang durian. Durianku, durian Pak Bahar, dan durian two in one itu. Aku perhatikan saja mereka dari balik tirai jendela kamarku. Kulongokkan pula kepala ke arah Ayah yang mengerut keningnya menyaksikan rombongan Pak Bahar nongkrong di bawah batang durian yang juga telah berjasa melunasi uang sekolahku itu.

“Pak Bahar, tumben main ke belakang,” seru Ayah kudengar begitu nyaring. Tidak! Jangan sampai Ayah tahu dan berbicara panjang lebar dengan Pak Bahar. Tergesa-gesa aku menyusul ke belakang.
“Durian saya sudah mulai matang. Daripada mubazir saja, saya carikan saja memborong dan kebetulan sekarang sudah datang untuk memetik. Jika Pak Syam ingin nanti ambillah ke rumah,” ujar Pak Bahar datar.

“Kurang ajar kau Har!” maki ayahku.
Tak ingin menyaksikan pertengkaran itu berlanjut aku segera melerai. “Jangan, Yah, jangan marah. Biarkanlah Pak Haji itu memuaskan hawa nafsu serakahnya, tamak!” teriakku menengahi.
Tetapi Pak Bahar seperti tidak peduli. Ia balik membantah dengan ucapan kasar.
“Bapak yang kurang ajar. Selama ini saya biarkan saja Bapak memungut buahnya padahal durian itu milik kami, Pak. Sah milik kami!” bentaknya lebih keras.

“Sudah! Sudah! Memalukan!” bentakku menengahi dua gaek yang mulai panas itu.
“Ayah, biarkanlah dia mengambilnya. Mari kita ke dalam saja, tidak ada guna melayani omongan yang mubazir itu,” bujukku seraya merengkuh bahu Ayah. Pak Bahar tersenyum sinis sambil membuang ludah.
“Tak tahu diri. Sudah haji masih juga rakus!” umpat Kak Marni saat mendengar cerita pertengkaran itu dari mulutku.

Sudah kuduga, asma Ayah kambuh akibat pertengkaran itu. Dengan susah payah kami membopong Ayah ke tempat tidur. “Sudahlah. Yah. Kalau memang durian itu rezeki kita, takkan ke mana, tetapi kalau tidak, meski kita bertempur habis-habisan, takkan kita dapatkan. Allah Maha Tahu segalanya,” bujuk Kak Marni sekali lagi dari sisi Ayah berbaring, sementara dari belakang rumah terdengar dentuman-dentuman buah durian jatuh dari batangnya. Dari balik tirai kusaksikan Pak Bahar memunguti buah durian yang dijatuhkan oleh seekor beruk yang sengaja disewa untuk itu.
Satu minggu berlalu, namun mataku masih melihat truk besar berisi durian parkir di halaman rumah Pak Bahar. Seperti biasanya hujan turun dari langit dengan deras. Aku heran kenapa durian itu masih juga nongkrong di sana, padahal kalau diperam berminggu-mingu seperti itu tidak akan laku lagi di pasaran.
Aku memungut dan membuka koran pagi. Namun aku tersentak saat membaca sebuah berita besar di halaman dalam. Jalan yang menghubungkan Sumpur Kuidus dengan Kumanis terputus akibat hujan lebat. Oh?
Kayutanam, 29/4/03

Penulis:Afri Meldam

Surat Ke Barzah

| komentar

Belum tidur, Fit? suara ibu menyapaku lembut malam ini. tangannya menyentuh pundakku.
Sudah malam lho, nak¦Agih, sono, tidur, besok malah telat masuk sekolah¦
Aku yang sedari tadi sendiri di depan jendela kamar cuma menggeleng. Nanti saja, Bu¦Dia belum datang¦ lemah sekali suaraku terdengar. Serak dan terkesan amat berat. Mataku yang membesar akibat keluarnya bendungan air mataku Tadi, membuatku lunglai, seperti orang tanpa daya. Lebih dari 3 jam aku menangis. Mulai dari tenggelamnya matahari bakda salatul maghrib, sampai pukul 9 malam. Cukup lama untuk ukuranku. Benar sajalah kalau mata sipitku termanifestasi sebesar BEKEL, mungkin!

Dia? Siapa maksudmu, Nak, tanya Ibu sedari mengambil posisi duduk di sampingku.
Malaikat post¦ jawabku datar tanpa menoleh ke face ibu.
Malaikat post? Maksudmu?
Mau kirim surat buat Bapak, Bu¦ini suratnya. Sebentar lagi malaikat post pasti datang¦
Ibu terkesima mendengar penuturanku. Bulir-bulir kristal yang tersimpan kini perlahan muncul. Tangannya menutup mulut dan dadanya.

Kau kenapa lagi, Fit¦kenapa kamu selalu seperti ini? Kenapa jiwa dan pikiranmu selalu menghayal yang tidak-tidak. Kau tidak gila kan, Fit? Kau sadar kan dengan apa yang kau pikirkan sekarang, Nak?
Aku mengangguk apa adanya.

Aku tidak gila, Bu¦Fitri yakin, sebentar lagi pasti malaikat post datang. tenang saja, salam Ibu sudah Fitri cantumkan di surat. Pasti Bapak senang nanti. Ibu ndak usah khawatir¦percaya sama Fitri deh, pasti Dia datang nganter surat ini¦

Roman muka Ibu semakin merah. Memang, setiap kali Ibu menangis, pasti memerah. Mungkin karena pengaruh kulit putihnya. Tak seperti aku, kulit coklatku tak bisa membuat wajahku memerah saat menangis. Aku bukan mirip Ibu, tetapi mirip Bapak. Dulu, aku dan Bapak bagai pinang dibelah dua. Mirip. Mirip sekali. Bedanya aku kecil, sedang Bapak besar. Orang bilang, aku ini manis, istilah jawanya SEDAP dipandang mata. (maaf¦ini jujur lho!) karena itulah realita, Bapak memang laki-laki yang tampan. Tapi itu dulu, ketika Bapak masih hadir di tengah-tengah keluarga kami. Ketika Bapak masih bisa membelai rambutku, rambut Ibu, juga Rini, adikku. Sekarang¦sudah tidak! Bapak udah LULUS menempuh hidup. Bapak udah SUKSES menjalani hidup. Dua minggu yang lalu, bapak wisuda. Diwisuda malaikat Izroil. Mungkin mau di antar ke Maha Pemilik Kaum, Maha segala Maha¦melaporkan hasil kuliah hidupnya selama di dunia. Dan tidak semudah itu, Bapak bisa berani dan TENANG ketika Izroil menuntunnya ke Dekan makhluk alat jagat ini. Butuh perjuangan berat. Yah¦pantas sajalah lha wong ketika Bapak hidup itu ndak pernah absen salat kok, nggak pernah berbuat jahat dan yang tak bermanfaat, ndak pernah punya musuh, ndak pernah mengeluh soal nasib, pokoknya THE BEST banget. Dan satu¦yang paling bisa kami rasakan, Bapak ndak pernah menelantarkan kami. Bapak ngopeni kami dengan sangat sempurna. Kerja ini itu, melakukan ini itu, tapi yang halal dan tidak nylenong dari syariat Islam. Jadi¦tentu saja, Bapak lulus hidup dengan nilai baik.

Bapak pergi pas lagi tidur¦kalau dipikir, aneh! Tidur kok tiba-tiba meninggal. Padahal Bapak kan tidak sakit.
Yah¦itulah Bapak! Yang nggak pernah ngrepotkan orang. Sampai akhir hayatnya saja, Bapak nggak nyusahin. TIDUR. Sederhana sekali bukan? Cenderung amat mudah! Terkesan tenang sekali¦apalagi Bapak meninggal setelah salat isya™. Aku haru Pak¦

Berhubung Bapak pergi tanpa pamit, aku sengaja mengirimkan surat pada Bapak. Yah¦sekedar say: Kangen, Pak! sebentar lagi pasti ada malaikat post yang mau mengantar suratku. Bermodal YAKIN dan PERCAYA, itu saja! Itu sudah menjadikan perangko bernilai tinggi. Banyak orang menganggapku gila, mungin. Tapi aku tak peduli. Karena keyakinanku akan datangnya malaikat X yang mau mengantarkan risalahku kuat sekali.

Ibu mengambil surat beramplop putih tanpa perangko postku¦diiringi isak tangis karena prihatin denganku, Ibu membuka dan membaca surat yang akan kukirimkan kepada Bapak¦

Jangan khawatir, Pak¦ini bukan surat dinas, tagihan telpon atau air¦ini cuma surat ala ngawur karangan tangan jahil Fitri saja kok. Sifatnya santai dan kental dengan unsur KERINDUAN¦

Menjumpai,
Anggota BARZAH terbaru¦
Bapak Yang Baik¦

Seperti biasa¦awal surat pasti pakai salam¦jangan takut aku masih menerapkannya kok Pak.
Assalamualaikum¦
Bagaimana kabar, Bapak? Apa masih bugar seperti dulu? Masih sehat seperti dulu? Pasti dong¦masak di tempat enak seperti tempat Bapak di sana Bapak bisa sakit? Bukankah di sana lebih nyaman dibandingkan dengan di dunia, tempat bapak dulu? Ah¦Fitri yakin, walau tak bisa melihat Bapak dengan mata telanjang, Bapak pasti segagah Bapak dulu¦Bahkan mungkin lebih gagah.

Pak¦sebulan nggak ketemu Bapak rasanya rindu sekali¦apa Bapak juga rindu sama Fitri? Sama Ibu? Sama Rini? Wah¦jangan-jangan Bapak keenakan bermain-main di sana sampai lupa keluarga. Waduh¦jangan ah, Pak, masak rindu kita bertepuk sebelah tangan? Kayak nyanyian group dewa saja, Baru kusadari¦cintaku bertepuk sebelah tangan¦

Bapak masih ingat nadanya kan? Halah¦masak lupa sih, itu lho lagunya group band kesukaan Bapak. Lagian Fitri masih ingat betul ketika bapak nyanyikan itu duet bareng Ibu di depan TV.

Wis¦pokoknya Fitri yakin, Bapak pasti rindu juga¦
Pak¦Result yang baru saja Fitri lacak, hampir membuat Fitri kaget¦bagaimana tidak, lha wong bendungan air mata Ibu, saya juga ade™ Rini jebol! Gara-gara Bapak yang pergi meninggalkan kami¦

Ibu nangis berat saat Bapak pergi. Ndak tau berapa galon air mata yang dikeluarkan. Yang pasti buuuaaanyak. Kalau dalam ilmu matematika pasti pakai lambang ~ yang artinya tak hingga. Hehehe¦pokoknya Fitri ingat betul waktu itu Ibu pingsan dan baru sadar ketika malam menggantung. Mungkin shock, pasangan hidupnya LULUS tahun¦itu tandanya Ibu cinta mati sama Bapak¦Bapak ingat nggak, Bapak kan pernah bilang waktu itu.

Ssst¦Fit! Lihat ibumu itu. Pergi ke pengajian saja pakai bedak dan lipstik. Padahal di sana kan niatnya ngaji, bukan mejeng¦ Aku ingat betul Bapak bilang begitu ketika Ibu berada di depan cermin sambil membawa GINCU.

Lho, Pak, wanita itu memang serba dandan. Lagian seharusnya Bapak bangga punya istri kayak Ibu. Cantik, performance oke, baiiikk¦lagi!jawabku renyah.

Orang-orang menyangkaku GILA. Apalagi sejak aku kesurupan. Mereka mengira aku mikir hal-hal mistis dan ghoib. Padahal kan aku biasa aja tuh¦

Halah¦apa salahnya percaya sih, kalau sebentar lagi ada malaikat post yang bakal nganter suratku? Nggak ada ayat-ayat Al-Qur™an yang nglarang kok! Atau¦hadits, ijma, qiyas, atau yang lainnya. Yang ku tau, di UUD 45 pasal 28 menyerukan kita untuk bebas mengeluarkan pendapat, bebas berpikir, juga NGARYA. Ini namanya KREATIFITAS PIKIR, tul nggak?

Cuek aja lagi, biar aja mereka ngowar-ngowar, nertawain tindakanku. Yang penting ini kan aku. AKU ya AKU bukan MEREKA. Terserah aku mau ngirim risalah atau tidak, kok repot! Seandainya ada jaringan telpon di tempat Bapak, Fitri pasti telpon. Berhubung nggak ada ya udah pakai surat aja. Dan aku yakin, pasti Malaikat X itu datang malam ini.

Pak waktu Bapak pergi, aku sering sakit. Pingsan, sadar, terus pingsan lagi. Hehehe¦ndak tau aku kok seperti ini. Sakit-sakitan. Lha wong Bapak kan tau sendiri, aku sama si Rini, kurusan aku. Dulu Bapak sering mengejekku KUNTET atau nggak bisa ngembang.

Ngomong-ngomong kabar si Rini baik. Malahan dia mau naik kelas III SMP. Udah gede. Waktu Bapak pergi, dia nangis nggak henti-henti.

Oh, iya¦Aku baru sembuh tiga hari lalu. Aku baru mulai sekolah kembali hari ini dan kemarin dua hari lalu aku dari Doktor Imam, Psykologis terkenal di kota ini. Dia bilang saya mengalami shock sedikit. Jadi sering ngelindur. Dia tanya macam-macam ke Fitri. Terutama tentang apa yang dipikirkan Fitri juga hal-hal aneh yang dialami Fitri. Senangnya saat dia bilang daya imajinasi Fitri itu bagus dan tinggi banget. Cuma Fitri diberi pesan nggak boleh mikir aneh-aneh lagi. Khususnya Bapak. Fitri mesti berorasi pikir, berkarya, dan melakukan aktifitas yang padat. Biar sama orang-orang nggak dibilang ANEH lagi, gitu. Intinya Fitri udah sembuh! Padahal Fitri nggak tau sembuh dari penyakit apa. Kata orang-orang sih¦penyakit JIWA. Busyeett!

Duh¦udah banyak banget basa-basinya. Bapak pasti capek membacanya! Diakhiri dulu ya¦nanti Fitri bakal nulis surat lagi buat Bapak. Tunggu saja tanggal mainya, di episode yang berbeda!
Salam dari Ibu, jaga diri baik-baik. Tenang saja, Ibu masih cinta sama Bapak kok. Truuss¦salam dari Rini, kangen berat, seberat badannya. Eh, nggak ding, kurang berat! Khusus dari saya, Bapak mesti senang di sana, nggak boleh sedih. Doain cita-cita Fitri jadi penulis kondang tercapai ya¦Do™ain Fitri supaya sembuh¦Ok!
Terakhir, kami sekeluarga mau mengucapkan¦
SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE 63 TAHUN

Semoga Bapak tenang dan damai di sana. Percaya saja, Insya Allah kita bakal kumpul diharumnya firdaus nanti¦Amiin¦.
Maaf, kami nggak bisa ngasih ciuman di kening buat Bapak, nanti di Qada™ di nirwana saja yah¦Sabar saja okey!

Salam buat para muslimin muslimat di sana, buat para pemilik hati PERMATA¦buat para dermawan, Ulama™, teman-teman Bapak di sana¦khususnya Sang Revolusioner akbar, Nabi Pemberi Petunjuk.
Satu! Teruntuk Sang Maha Segala Maha, Yang Tengah Duduk Di Singgasana Arsy Yang Gemerlap. Bersamalah kami selamanya¦Aku, juga seluruh keluarga mencintai mu¦
Wassalamualaikum¦.
Hormat Ananda,

Bangga sih bangga, Fit, tapi nanti kalau terlalu cantik, trus ada cowok kesetrum gimana hayoo¦berabe dong! hahaha¦roman Bapak waktu itu tampak takut dan khawatir sekali.
Hayo¦Bapak cemburu ya¦suit..suit..! Dasar Bapak, hahaha¦ketahuan, Bapak cembokur¦! aku melenggang di depan Bapak waktu itu.
Sstt¦! Jangan keras-keras nanti ibumu dengar lagi. Nanti GR!
Halah¦Bapak kayak anak muda aja¦hahaha.
Lho¦Bapak sayang sama Ibu. Bapak cinta sama Ibu. Cinta bapak ke Ibu itu benar-benar cinta mati. Makanya Bapak cemburu kalau ibumu dilirik orang lain¦
Cieee¦ngaku niye¦suit¦suit¦
Rasanya peristiwa itu masih kental¦seperti baru kemarin terjadi. Kadang nyetrum ke pikiran, dan itu membuat aku NGELAMUN, mereview peristiwa itu lagi¦dan kalau sudah NGLAMUN, udah! Nggak ada juntrungannya! Aku pernah diajak main ke tempat aneh, yang mana ada banyak makhluk nagak NGGENEH. Ada yang telinganya buesaar, mata sebesar piring, badan setinggi pohon cemara, ada yang nggak punya badan, cuma kepala doang, bahkan ada lagi yang cebol tapi hidungnya buueesaarr¦! Hi¦! Lucu-lucu menakutkan gimana gitu!
Kata orang-orang, termasuk Ibu dan Rini sendiri, aku kesurupan, alias kemasukan jin! Hi¦! Ndak tau juga itu benar atau tidak. Tapi mungkin saja mereka benar. Soalnya JUJUR, saat mereka ngajak aku main, aku seperti berada di dunia lain yang berbeda.
Pak!

Dunia kita beda jauh, tak bisa ditempuh dengan jet tercanggih pun. Kupikir penyatuan bathin adalah transportasi terbaik. Aku cuma modal yakin dan percaya mentok! Makanya aku berani ngirim surat buat Bapak. Hehehe¦aneh ya¦imajinasiku terlalu MULUK-MULUK. Maklum¦aku kan pingin jadi penulis imajinasi yang handal.
Ibu melipat kembali surat yang baru saja kutulis tiga jam yang lalu dan meletakkan di bibir jendela dekat posisiku.
Fitri¦apa kau yakin, surat ini akan dibaca Bapak? nada suaranya berat sekali, duet dengan melodi isaknya.
Yakin sekali¦ ucapku mantap.
Tapi, Nak, Bapak itu nggak ada di sini. Jauh¦jauh, Nak¦ngak akan bisa terjangkau surat ini¦
Tiba-tiba angin berhembus kencang¦dan surat yang ada di bibir jendela milikku untuk Bapak itu TERBANG!
Suratku¦suratku¦! aku berdiri menatap lembar itu yang tengah meliuk di sela hembusan malam. Surat itu terbawa angin¦jauh¦ke atas¦lalu hilang dari pandangan mataku¦
Bu¦ ucapku lirih. Malaikat postnya baru saja datang¦suratku dibawa Bu¦suratku terkirim¦! Aku girang memeluk Ibu.
Ibu cuma diam, meneteskan kembali air matanya¦PRIHATIN melihat keadaanku. Di selip kalbunya Ibu membantin¦
Ya Allah ¦sembuhkan anakku¦

Sedang aku? Tentu saja bahagia. YESS! Suratku bakal sampai ke tangan Bapak di dunia BARZAH, PIKIRKU¦

Penulis:Azizah Hefni

Taman Bungaku

| komentar

Ribut lagi! Ribut lagi! Tiada hari tanpa ribut-ribut di rumah ini. Tiada hari tanpa acara banting-bantingan piring. Salah satu alasan Mbak Rini membeli selusin piring kaleng barangkali agar dia bisa membanting-banting piring tanpa harus menyesal sesudahnya. Namanya piring kaleng, paling juga penyok di sana-sini, paling pol bocor, kalau bocor pun tinggal tambal dengan tambal panci. Lha kalau piring beling?

Kalau Mas dan Mbak iparku sedang ribut begini, aku selalu memilih untuk melarikan diri ke atap dak beton tempat jemuran. Paling tidak di tempat ini kemarahan mereka tidak terlalu terasa. Paling tidak ada pemandangan yang lebih bagus daripada pemandangan dua orang yang saling tuding dan tidak ada yang mau mengalah.

Beberapa ratus meter dari rumahku, maksudku rumah warisan orangtuaku yang sekarang kutinggali bersama keluarga Masku itu, ada sebuah hotel besar berbintang entah empat entah lima. Bagus, cantik, setiap kamar pun balkon sendiri. Di tiap balkon itu ditanam tanaman hias yang indah-indah.

Aku nggak ngerti kenapa orang mau membangun hotel di kawasan seperti ini. Meskipun belum sampai kumuh, tapi ndak elit. Kampung pinggir sungai, ledok yang penuh sesak dengan rumah-rumah kecil yang berdempet-dempet.

Katanya sih karena ini termasuk kawasan bisnis, jadi para bos atau karyawannya tidak perlu jauh-jauh berjalan antara tempat tidur dan tempat kerjanya. Kayak gitu, kali!

Kalau aku sih nggak bakalan mau nginep di hotel kayak gitu. Pemandangannya paling ya, kali Code. Apa bagusnya? Aku sih maunya nginep di hotel yang pemandangannya indah. Ada kolam ikan, ada bunga. Paling tidak kayak di Kaliurang atau Tawangmangu lah. Ning kok ngayawara, lah yang mau buat bayar itu apa? Jual kuburannya bapak sama emak?

Ngomong-ngomong soal Tawangmangu, aku jadi ingat bunga mawar yang dijual di Tawangmangu. Aku dulu beli satu pot, seminggu kemudian meninggal dunia. Pot bunga mawar itu masih teronggok di sudut dak beton, kosong tanpa tanaman apapun.

Aku juga jadi ingat kalau pas pernikahan putri juraganku, aku dapat souvenir kantong batik. Dalam kantong batik itu ada biji Cimplungan, Sanggatelik, Kembang Pacar Sore, dan entah biji apa lagi. Tadi pagi, pas nyuci baju jagong, kantong batik itu kukeluarkan dari saku, seluruh isinya kutuang dalam pot itu.

Jare Koes Plus ‘tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman,’ ee yo moga-moga wae…
***

Sekarang aku makin senang duduk-duduk di dak beton. Ada pertengkaran atau tidak, aku selalu menghabiskan malam di atas. Turun hanya kalau sudah benar-benar mengantuk dan siap tidur. Di dak beton hanya ada aku sendiri, satu-satunya penguasa dak beton. Di depan TV aku harus selalu mengalah dengan kemauan Mbak Iparku, di kamar tidur aku harus kalah dengan Rose, ponakanku, yang kecil-kecil sudah nyinyir persis ibunya. Pokoknya bagiku tidak ada tempat yang lebih indah di rumah ini selain dak beton.

Potku sudah beranak pinak sekarang. Bukan pot tanah liat, cuma bekas ember cat, kaleng kue, dan panci yang sudah tidak bisa ditambali lagi. Satu pot pohon Cimplung, satu pot bunga Pacar Sore, satu pot bunga Aster, satu pot pohon Pepaya, satu pot bunga Matahari, satu pot lagi pohon Srikaya. Biji Sanggatelik yang kumasukkan di pot Cimplungan belum juga berkecambah.

Kecuali pohon Cimplungan dan Srikaya, semua tanaman lain tingginya hampir selututku. Kembang Pacar Sorenya malah sudah menunjukkan tanda mau berbunga. Biarpun cuma kembang Pacar Sore, lumayanlah. Nantilah kalau aku ada uang lebih aku beli mawar lagi. Tapi kapan ya aku punya uang lebih? Upahku sebagai pelayan di toko peralatan jahit tidak pernah cukup sampai akhir bulan. Biarpun tinggal di rumah masku sendiri, aku kan ya mesti urun uang belanja, urun uang jajan ponakan.

Eh, Bulik. Tak kira nggak ada orang.” Dalam kegelapan aku melihat keponakanku datang membawa bungkusan.

Kamu, Van. Tumben naik ke sini. Bawa apa itu?”
Kembang, Lik”
Kembang?” Aku tertawa, Sejak kapan kamu seneng kembang?”

Anu kok, Lik, ini tugas sekolah. Pelajaran Biologi.” Ivan kresak-kresek membuka bungkusan, Seminggu lagi dibawa. Diteliti.”

Aku cuma ber-ah-oh saja. Waktu aku sekolah dulu, tidak ada tugas membawa kembang ke sekolah. Tapi ya wajar kalau sudah berubah, wong SMP ku sudah hampir 15 tahun lalu.

Kembang apa ta, Van?” tanyaku masih dari kegelapan.
Kembang kenikir.”
Yang mau diteliti itu apanya?”

Ivan menggaruk kepalanya. Nggak tahu, wong aku cuma disuruh bawa kok. Wis, aku mau makan, Lik.”
***

Hari ke hari tanamanku makin besar. Kembang Pacar Soreku sudah lebat berbunga. Bijinya kukumpulkan, nyicil souvenir, hehehe. Ngimpi sedikit kan ya nggak apa-apa to? Asternya sudah berbunga, bunga Mataharinya juga. Daun Pepayanya sudah beberapa kali dijadikan sayur. Mau dibiarkan besar ya nggak mungkin, wong tanahnya cuma sa’uplik. Kembang Kenikir Ivan juga sudah besar. Malah sekarang ada beberapa pot.

Ini titipan teman. Pada malas bawa pulang, ya sudah ta’ bawa pulang. Lumayan, to?
Tapi Kenikir kok kayak gini? Kayak gambar daun ganja yang di slayermu itu lho. Slayer yang Rastafarian itu lho.”

Bulik ngarang. Kenikir kan maca-macam, Lik. Ini Kenikir jenis baru.”
Woi, gitu to? Tapi bener Kenikir to? Bukan ganja?”
Ya bukan. Ngganja itu haram, nanem ganja juga haram hukumnya, Lik. Dosa!”
Meski masih sedikit ragu, aku tidak bertanya-tanya lagi, nanti malah jadi perkara lagi. Aku sudah belajar untuk tidak turut campur dalam urusan keluarga Masku. Lebih baik begitu.

Tapi akhirnya aku harus terlibat, atau terkena akibatnya.
Satu sore, sepulang kerja aku melihat gang menuju rumahku terasa begitu ribut. Sebenarnya setiap hari juga ribut, tapi aku merasa kalau ribut ini lain. Ini ribut yang panik. Ribut yang menakutkan, bukan menjengkelkan. Seolah baru saja ada bencana melintas.

Ada apa, Yu?” tanyaku pada Yu Nani yang berjalan tergesa-gesa.
Kamu cepat pulang sana, Mur! Mbakmu lagi kalap. Ivan ditangkap polisi.”
Ivan ditangkap polisi? Kok bisa? Kena kasus apa?”
Sudah, cepat pulang. Nanti kalau sampai rumah kamu ngerti.”
Tanpa babibu lagi aku berlari pulang, dan benar kata Yu Nani. Dari jarak jauh saja sudah terdengar suara jeritan Mbakku.

Oalah, Le, Le. Kamu kok kebangetan banget, Le. Nasibmu trus nanti gimana? Wis kere, urusan sama polisi. Nasibmu trus piye?”

Dengan susah payah aku berhasil menembus kerumunan orang yang memadati rumahku. Di ruang tengah, Mbak Rini sedang kelojotan tidak karuan.
Beberapa tatangga berusaha menenangkan. Tapi usaha itu sepertinya malah membuat Mbak Rini makin kalap.

Ini ada apa, toh Yu?”
Ivan ditangkep polisi. Dia nanam ganja di tempat jemuran itu. Polisi datang ngambil Ivan sama pohon ganjanya itu. Masmu sekarang di kantor Polisi. Dimintai keterangan.”

Lha trus?”
Plakk!
Rontok rasanya semua gigiku terkena tamparan itu. Aku terbengong-bengong tak yakin dengan apa yang terjadi. Mbak Rini masih berusaha menamparku sekali lagi.

Sabar, Mbak. Murni itu nggak salah apa-apa.”
Ngak salah apa-apa matamu!” Maki Mbak Rini. Gara-gara dia anakku kepikiran nanam ganja. Dasar pembawa sial. Minggat kamu, minggaat!”

Aku tidak tahu apakah tamparan barusan atau kata-kata makian yang membuat kepalaku berputar. Pusing sekali.

Sudah, Rin. Mur, kamu pergi dulu beberapa hari ini. Tunggu sampai marah Mbakmu reda.”
Tapi ini bukan salahku, Mbok Dhe! Aku nggak pernah ngajarin Ivan nanam ganja.”

Seseorang menarikku ke kamar.
Aku percaya ini bukan salahmu. Tapi Mbakmu sedang kalap. Tidak ada gunanya membantah.”

Dalam sekejap bajuku yang tidak seberapa itu sudah berpindah dalam tas.
Lha, saya trus pergi ke mana?”
Ke mana saja. Ke rumah temanmu, saudaramu…”
Entah bagaimana caranya Mbak Rini berhasil membebaskan diri dari pitingan ibu-ibu tetangga. Dia menerjangku, menjambak rambutku, sambil terus memaki-maki. Dan entah bagaimana caranya aku bisa bebas dari cengkeraman Mbak Rini dan berlari keluar gang.
Kepalaku masih pusing luar biasa. Rasanya mau jatuh saja. Dan sebelum aku benar-benar sadar apa yang kulakukan, aku sudah berada di atas angkot.

Mau ke mana aku? Pikiranku mulai jernih saat angkot berhenti di perempatan Monjali. Sanak saudara tidak ada. Teman pun tidak ada yang rumahnya bisa kuinapi. Mau nginap di masjid? Sampai kapan? Dan apa ya pantes perempuan nginep di masjid?

Angkot terus melaju menembus jalan Tentara Pelajar. Hotel Hyatt sudah terlampaui. Gelap mulai membayang.

Mbaknya ini mau turun di mana, toh?”
Aku menoleh kiri kanan. Ternyata hanya tinggal aku dan sopir.
Nggak tahu, Mas.”
Lho kok nggak tahu?”
Saya ini baru diusir dari rumah.”
Diusir? Lha trus sekarang mau ke mana?”
Saya nggak tahu, Mas.”
Saya ini sudah mau ngandang, Mbak. Belokan depan itu sudah rumah juragan saya. Kalau Mbaknya tujuannya jelas, saya anter. Tapi kalau tidak jelas, ya piye?”

Tiba-tiba terbetik satu gagasan di kepalaku.
Saya ikut Mas saja.”
We lha dalah! Bisa diamuk si Mbok nanti. Pulang kerja kok bawa-bawa perempuan.
Bukan ikut ke rumah Mas. Saya ikut ke rumah juragan Mas.”
Mau apa ke rumah juragan? Ini sudah Maghrib lho, Mbak. Saru nek namu.”

Lha trus saya mesti ke mana? Saya tidak punya saudara lagi. Tolonglah Mas, saya mau jadi pembantu di rumah juragan.”

Mas sopir itu menoleh ke arahku.
Gini saja. Pulang ke rumah saya dulu. Mandi, shalat. Habis itu saya antar kamu ke rumah juragan. Juragan pasti tahu bagaimana membantu perempuan macam kamu.”

Juragan pasti tahu bagaimana membantu perempuan seperti kamu? Apa maksudnya? Jangan-jangan…tapi masa iya? Ah sudahlah, pokoknya ada tempat nginep malam ini.
Nah itu rumah juragan saya.”

Rumahnya rumah kampung biasa. Mangku masjid. Jadi barangkali orang baik-baik.
Dan ternyata mereka memang baik. Sangat baik barangkali. Meski didatangi orang asing yang masih sedikit linglung sepertiku, sambutan mereka tetap baik.

Tapi mereka tidak butuh pembantu!
Saya tidak memerlukan pembantu rumah tangga. Tapi saya kebetulan sedang cari pekerja untuk kebun bunga saya. Kalau Dik Mur bersedia kerja kasar, berat, kotor, nggih monggo. Boleh tinggal di sini.”

Aku buru-buru mencium tangan juragan perempuan.
Matur nuwun, matur sembah nuwun.”
Iya, iya. Tapi kamu sudah harus mulai kerja malam ini, Dik Yan. Beresin kamar, kamu bantu, ya Yon?”
Sebelum terlelap, aku sempat bertanya-tanya dalam hati siapa teman bertengkar Rose malam ini.
***
Sebelumnya aku pikir bekerja di kebun bunga itu mudah saja, hanya menanam, menyiangi, memupuk, menyiram. Ternyata jauh lebih sulit dari itu. Banyak hal yang harus diperhatikan. Mulai dari jenis media tanam, perlakuan terhadap bibit, umur berapa bibit mesti dipindahkan, berapa dan pupuk jenis apa yang harus disediakan, kapan dan seberapa banyak mesti disiram, dan banyak lagi.
Aku tidak ingin mengecewakan orang yang sudah menyelamatkan hidupku. Semua petunjuk dari ibu kucatat baik-baik. Semua pengalaman yang kutemukan kucatat rapi. Begitu seringnya aku mencatat petunjuk ibu dan pengalamanku sendiri, ibu sampai menggodaku begini.
Kalau kamu serius seperti ini, sepertinya tahun depan kamu sudah bisa usaha
sendiri, Mur?”

Ah, Ibu. Ya mana mungkin ta, Bu? Jadi pembantu ibu saja sudah cukup.”
Eh jangan begitu. Setiap orang hidup itu harus punya cita-cita. Apa ya kamu tidak ingin punya usaha sendiri, punya suami dan anak-anak?”
Saya ini orang buangan, Bu. Siapa yang mau sama saya? Keponakan saya kena kasus narkoba.”
Yang kena kan, keponakanmu, bukan kamu. Trus gimana kabar ponakanmu itu?”

Kata koran sih, cuma dikenai wajib lapor seminggu dua kali. Dia cuma diperdaya tetangga kok.”
Kok kata koran? Waktu ibu suruh kamu ke Kranggan kamu tidak mampir ke rumah?”
Saya masih sakit hati, Bu.”
Bagaimana tidak sakit hati? Gara-gara tamparan Mbak Rini telinga kiriku rusak. Tidak bisa mendengar dengan jelas lagi. Aku juga sering pusing luar biasa. Kata dokter, kemungkinan besar akibat tamparan itu.

Sudah tiga bulan lho, Mur. Masa masih sakit hati?”
Aku tak berani menjawab.
Kalau dipikir sakitnya ya memang sakit. Tapi lihat sisi baiknya. Kamu dapat kerja, dapat ilmu, dan insya Allah dapat calon suami yang baik.
Ibu ini lho.”

Ibu serius. Kemarin Yono minta pertimbangan bapak ibu, bagaimana kalau dia memperistri kamu. Pada prinsipnya bapak ibu setuju. Yono baik, tanggung jawab, bisalah membimbing kamu. Tapi bukan hak kami menikahkan kamu. Masmu lebih berhak untuk itu.
Aku diam.

Kalau kamu sudah siap, tengoklah keluargamu. Barangkali kemarahan Mbakmu sudah reda. Barangkali juga mereka mengkhawatirkan keadaanmu. Tidak baik memutus tali silaturahmi.”
Baru sebulan kemudian aku menuruti nasehat ibu. Aneh rasanya turun di mulut gang yang pernah sangat kukenal, yang masih saja riuh dengan anak-anak yang berkeliaran, teriakan kemarahan. Aneh juga rasanya dipandangi sedemikian rupa oleh para bekas tetanggaku.
Dan aku segera tahu kenapa tetanggaku memandangiku begitu rupa, setelah aku melihat rumahku.
Rumah ini dijual.
Berminat hubungi Pak Hanafi
0274511922

Jogjakarta, 20 Agustus 2004
Keterangan:
Ning kok ngayawara: tapi kok mustahil
Saru nek namu : tidak pantas kalau bertamu.

Penulis:Ina Achmar

Penulis:Ina Achmar

Ketika mas Gagah Pergi

| komentar

Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!

Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.

Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.

"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"

"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"

"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"

Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?

"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!

Itulah Mas Gagah!

Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…

"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!

"Assalaamu’alaikum!"seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.

"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.

"Matiin kasetnya!"kataku sewot.

"Lho memangnya kenapa?"

"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.

"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"

"Bodo!"

"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."

"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"

"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"

"Pokoknya kedengaran!"

"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"

"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"

"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.

Oala.

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!

Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.

"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"

"Lain gimana Ma?"

"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…"

Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."

Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng."

Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.

Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?"

"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"

"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"

Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"

Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"

Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."

Mas Gagah tersenyum.

"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku.

"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.

Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.

"Mau kemana Gita?"

"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."

"Ikut Mas aja yuk!"

"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.

"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.

Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."

Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!

"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.

"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.

"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.

"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham."

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.

"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.

"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.

"Mbak Ana?"

"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.

"Hidayah."

"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"

"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.

‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.

"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…

"Cuma lagi baca!"

"Buku apa?"

"Tumben kamu pingin tahu?"

"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.

"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.

"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.

"Maaas…"

"Apa Dik Manis?"

"Gita akhwat bukan sih?"

"Memangnya kenapa?"

"Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.

Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Mas kok nangis?"

"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."

Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…

"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.

"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.

"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"

"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.

"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"

Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.

Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."

Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.

"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.

"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.

"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.

"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.

"Lho! " Mas Gagah bengong.

Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.

Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.

Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.

"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.

"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama.

"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.

"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"

"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. "

"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.

Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.

"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.

Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.

"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.

Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.

"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.

Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."

Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.

"Kriiiinggg!" telpon berdering.

Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"

"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.

"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah.

"Mas Gagaaaaahhhh" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.

" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.

Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."

Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.

"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir.

Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.

"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga."

Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."

"Gita…" suaraku serak menahan tangis.

Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.

"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik.

Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."

Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.

"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.

"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.

"Gita di sini, Mas…"
Perlahan kelopak matanya terbuka.

"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.

"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.

Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.

"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.

Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.


Epilog:

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.

Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.

Setitik air mataku jatuh lagi.

"Mas, Gita akhwat bukan sih?"

"Ya, insya Allah akhwat!"

"Yang bener?"

"Iya, dik manis!"

"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"

"Kok nanya gitu sih?"

"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"

"Ganteng kan?"

"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"

"Ya always dong, jihad itu…"

Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!

Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kumpulan Cerpen Islami - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger